A. BANI UMAYYAH
1.
. Asal Mula Bani Umayyah
Bani
Umayyah diambil dari nama Umayyah, kakeknya Abu Sofyan bin Harb, atau moyangnya
Muawiyah bin Abi Sofyan. Umayyah hidup pada masa sebelum Islam, ia termasuk
bangsa Quraisy. Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan
dengan pusat pemerintahannya di Damaskus dan berlangsung selama 90 tahun (41 –
132 H / 661 – 750 M).
Muawiyah
bin Abi Sufyan sudha terkenal siasat dan tipu muslihatnya yang licik, dia
adalah kepala angkatan perang yang mula-mula mengatur angkatan laut, dan ia
pernah dijadikan sebagai amir “Al-Bahar”. Ia mempunyai sifat panjang akal,
cerdik cendekia lagi bijaksana, luas ilmu dan siasatnya terutama dalam urusan
dunia, ia juga pandai mengatur pekerjaan dan ahli hikmah.
Muawiyah
bin Abi Sufyan dalm membangun Daulah Bani Umayyah menggunakan politik tipu
daya, meskipun pekerjaan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ia tidak gentar
melakukan kejahatan. Pembunuhan adalah cara biasa,asal maksud dan tujuannya
tercapai.[1]
Daulah
Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, telah diperintah oleh 14 orang
kholifah. Namun diantara kholifah-kholifah tersebut, yang paling menonjol
adalah : Kholifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin
Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik.[2]
2.
Peta Daerah Perkembangan Islam Pada Masa Kejayaan Bani Umayyah
Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani
Umayyah, Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk
merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara lain upayanya untuk terus
merebut kota Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabakan Muawiyah terus
berusaha merebut Byzantium. Pertama, karena kota tersebut adalah merupakan
basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan
Islam. Kedua, orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah
Islam. Ketgia, Byzantium termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah.
Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke
berbagai negara yang berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga
terus memperluas peta kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa Kholifah
Walid bin Abdul Malik , dengan mengutus panglimanya Musa bin Nushair yang
kemudian ia diangkat sebagai gubernurnya. Musa juga mengutus Thariq bin Ziyad
untuk merebut daerah Andalusia.
Keberhasilan Thariq memasuki Andalusia, membuta peta perjalanan
sejarah baru bagi kekuasaan Islam. Sebab, satu persatu wilayah yang dilewati
Thariq dapat dengan mudah ditaklukan, seperti kota Cordova, Granada dan Toledo.
Sehingga, Islam dapat tersebar dan menjadi agama panutan bagi penduduknya.
Tidak hanya itu, Islam menjadi sebuah agama yang mampu memberikan motifasi para
pemeluknya untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang kehidupan social,
politik, ekonomi, budaya dan sebaginya. Andalusia pun mencapai kejayaan pada
masa pemerintahan Islam.[3]
3.
Kemajuan dan Keunggulan Bani Umayyah
Di
masa Bani Umayyah ini, kebudayaan mengalami perkembangan dari pada masa
sebelumnya. Di antara kebudayaan Islam yang mengalami perkembangan pada masa
ini adalah seni sastra, seni rupa, seni suara, seni bangunan, seni ukir, dan
sebaginya.
Pada
masa ini telah banyak bangunan hasil rekayasa umat Islam dengan mengambil pola
Romawi, Persia dan Arab. Contohnya adalah bangunan masjid Damaskus yang
dibangun pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik, dan juga masjid Agung
Cordova yang terbuat dari batu pualam.[4]
Seni
sastra berkembang dengan pesatnya, hingga mampu menerobos ke dalam jiwa manusia
dan berkedudukan tinggi di dalam masyarakat dan negara. Sehingga syair yang
muncul senantiasa sering menonjol dari sastranya, disamping isinya yang bermutu
tinggi.
Dalam
seni suara yang berkembang adalah seni baca Al-Qur’an, qasidah, musik dan
lagu-lagu yang bernafaskan cinta. Sehingga pada saat itu bermunculan seniman
dan qori’/ qori’ah ternama.
Perkembangan
seni ukir yang paling menonjol adalah penggunaan khot Arab sebagai motif ukiran
atau pahatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya dinding masjid dan
tembok-tembok istana yang diukur dengan khat Arab. Salah satunya yang masih
tertinggal adalah ukiran dinding Qushair Amrah (Istana Mungil Amrah), istana
musim panas di daerah pegunungan yang terletak lebih kurang 50 mil sebelah
Timur Amman.
Dalam
bidang ilmu pengetahuan, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan
agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran,
filsafat, astronomi, ilmu pasti, ilmu bumi, sejarah, dan lain-lain.[5]
Pada
ini juga, politik telah mengaami kamajuan dan perubahan, sehingga lebih teratur
dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama dalam hal Khilafah
(kepemimpinan), dibentuknya Al-Kitabah (Sekretariat Negara), Al-Hijabah
(Ajudan), Organisasi Keuangan, Organisasi Keahakiman dan Organisasi Tata Usaha
Negara.[6]
Kekuatan
militer pada masa Bani Umayyah jauh lebh berkembang dari masa sebelumnya, sebab
diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nizhamut Tajnidil Ijbary). Sedangkan
pada masa sebelumnya, yakni masa Khulafaurrasyidin, tentara adalah merupakan
pasukan sukarela. Politik ketentaraan Bani Umayyah adalah politik Arab, dimana
tentara harus dari orang Arab sendiri atau dari unsure Arab.
Pada
masa ini juga, telah dibangun Armada Islam yang hampir sempurna hingga mencapai
17.000 kapal yang dengan mudah dapat menaklukan Pulau Rhodus dengan panglimanya
Laksamana Aqabah bin Amir. Disamping itu Muawiyah juga telah membentuk “Armada
Musin Panas dan Armada Musim Dingin”, sehingga memungkinkannya untuk bertempur
dalam segala musim.
Dalam
bidang social budaya, kholifah pada masa Bani Umayyah juga telah banyak memberikan
kontribusi yang cukup besar. Yakni, dengan dibangunnya rumah sakit
(mustasyfayat) di setiap kota yang pertama oleh Kholifah Walid bin Abdul Malik.
Saat itu juga dibangun rumah singgah bagi anak-anak yatim piatu yang ditinggal
oleh orang tua mereka akibat perang. Bahkan orang tua yang sudah tidak mampu
pun dipelihara di rumah-rumah tersebut. Sehingga usaha-usaha tersebut
menimbulkan simpati yang cukup tinggi dari kalangan non-Islam, yang pada
akhirnya mereka berbondong-bondong memeluk Islam.[7]
4.
Keruntuhan Bani Umayyah
Bani
Umayyah mengalami keruntuhan oleh banyak hal, diantaranya adalah terbaginya
kekuasaan Daulah Bani Umayyah ke dalam dua wilayah. Kholifah Marwan bin
Muhammad berkuasa di wilayah Semenanjung Tanah Arab, dan Kholifah Yazid bin
Umar berkuasa di wilayah Wasit. Namun yang paling kuat di antara kedua wilayah
tersebut adalah yang berpusat di Semenanjung Tanah Arab. Sehingga para pendiri
kerajaan Daulah Bani Abbasiyah terus menerus mengatur strateginya untuk
menumbangkan Kholifah Marwan dengan cara apapun, termasuk menghabisi nyawanya.
Pembunuhan
Terhadap Marwan bin Muhammad dan Yazid bin Umar
Salah
satu pendiri daulah Bani Abbasiyah, Abul Abbas As-Shaffah mengirimkan
pasukannya untuk melumpuhkan kepemimpinan Marwan. Sebagai panglima, ia mengutus
Abdullah bin Ali. Kholifah MArwan juga telah mempersiapkan pasukannya yang
besar dengan membaginya dengan dua lapis. Lapis pertama, adalah terdiri dari
pasukan yang selalu mengalami kemenangan dalam setiap peperangan, yang kedua,
adalah pasukan yang selalu mengalami kekalahan dalam setiap peperangan.
Kedua
pasukan tersebut bertempur di lembah Sungai az-Zab, salah satu cabang Sungai
Djlah (Tigris) dari sebelah timur. Pertempuran berlaku sengit. Angkatan perang
Marwan memang cukup besar dan memiliki perbekalan yang banyak. Namun, itu semua
tidak menyurutkan keinginan pasukan Abbasiyah untuk memperoleh kemenangan demi
masa depan yang cemerlang. Demikianlah angkatan tentara Abbasiyah mencapai
kemenagan atas pasukan Kholifah Marwan.
Sejak
saat itu, Marwan terus diburu untuk benar-benar dibunuh, sehingga tidak ada
lagi kekuasaan Bani Umayyah yang tersisa. Marwan terus menerus melakukan
pengunduran dari satu tempat ke tempat lain, dimulai dari ia mundur dari
Harran, Qinnisirin (Syiria), kemudian Hims, Damsyik, Palestin dan akhirnya
Mesir. Di Mesir, Marwan dan sedikit pasukannya yang tersisa masih harus
melakukan pertempuran kecil, dan saat itu pula ia tewas.[8]
Moment inilah
yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran daulah Bani Umayyah yang sudah
berkuasa selama 90 tahun.
B. BANI
ABBASIYAH
1)
Pembangunan Daulah Bani Abbasiyah
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul
Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali
bin Abdullah bin Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas
As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132 – 656 H / 750 – 1258
M. Lima setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana khilafah
Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad.
Tokoh pendiri Daulah Bani Abbasiyah adalah ; Abul Abbas As-Saffah,
Abu Ja’far Al-Mansur, Ibrahim Al-Imam dan Abu Muslim Al-Khurasani. Bani
Abbasiyah mempunyai kholifah sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan Abul
Abbas As-Saffah sampai Kholifah Al-Watsiq Billah agama Islam mencapai zaman
keemasan (132 – 232 H / 749 – 879 M). Dan pada masa kholifah Al-Mutawakkil
sampai dengan Al-Mu’tashim, Islam mengalami masa kemunduran dan keruntuhan
akibat serangan bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulakho Khan pada tahun 656 H /
1258 M.[9]
2)
Peta Daerah Perkembangan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
Pemerintahan
daulah Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah Bani
Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Meskipun demikian, terdapat perbedaan
antara kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani Umayyah,
diantaranya adalah :
a.
Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Oriented, artinya dalam segala
hal para pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni, begitu pula corak
peradaban yang dihasilkan pada dinasti ini.
b.
Dinasti Abbasiyah, disamping bersifat Arab murni, juga sedikit
banyak telah terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi
Timur, Mesir dan sebagainya.
Pada
masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam semakin
bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain
Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania,
Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan
Pakistan, dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India.[10]
3)
Bentuk-Bentuk Peradaban Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah
Masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai
bidang, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini,
umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan,
yaitu melalui upaya penterjemahan karya-karya terdahulu dan juga melakukan
riset tersendiri yang dilakukan oleh para ahli. Kebangkitan ilmiyah pada zaman
ini terbagi di dalam tiga lapangan, yaitu : kegiatan menyusun buku-buku ilmiah,
mengatur ilmu-ilmu Islam dan penerjemahan dari bahasa asing.[11]
Setelah
tercapai kemenangan di medan perang, tokoh-tokoh tentara membukakan jalan
kepada anggota-anggota pemerintahan, keuangan, undang-undang dan berbagai ilmu
pengetahuan untuk bergiat di lapangan masing-masing. Dengan demikian muncullah
pada zaman itu sekelompok penyair-penyair handalan, filosof-filosof, ahli-ahli
sejarah, ahli-ahli ilmu hisab, tokoh-tokoh agama dan pujangga-pujangga yang
memperkaya perbendaharaan bahasa Arab.[12]
Adapun
bentuk-bentuk peradaban Islam pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai
berikut :
a.
Kota-Kota Pusat Peradaban
Di antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adalah
Baghdad dan Samarra. Bangdad merupakan ibu kota negara kerajaan Abbasiyah yang
didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak
awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu
pengetahuan. Ke kota inilah para ahli ilmu pengetahuan datang beramai-ramai untuk
belajar. Sedangkan kota Samarra terletak di sebelah timur sungai Tigris, yang
berjarak + 60 km dari kota Baghdad. Di dalamnya terdapat 17 istana mungil yang
menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota lain.[13]
b.
Bidang Pemerintahan
Pada masa Abbasiyah I (750-847 M), kekuasaan kholifah sebagai
kepala negara sangat terasa sekali dan benar seorang kholifah adalah penguasa
tertinggi dan mengatur segala urusan negara. Sedang masa Abbasiyah II 847-946
M) kekuasaan kholifah sedikit menurun, sebab Wazir (perdana mentri) telah mulai
memiliki andil dalam urusan negara. Dan pada masa Abbasiyah III (946-1055 M)
dan IV (1055-1258 M), kholifah menjadi boneka saja, karena para gubernur di
daerah-daerah telah menempatkan diri mereka sebagai penguasa kecil yang
berkuasa penuh. Dengan demikian pemerintah pusat tidak ada apa-apanya lagi.
Dalam pembagian wilayah (propinsi), pemerintahan Bani Abbasiyah
menamakannya dengan Imaraat, gubernurnya bergelar Amir/ Hakim. Imaraat saat itu
ada tiga macam, yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa, Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaarat
Al-Istilau. Kepada wilayah/imaraat ini diberi hak-hak otonomi terbatas,
sedangkan desa/ al-Qura dengan kepala desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi
otonomi penuh.
Selain hal tersebut di atas, dinasti Abbasiyah juga telah membentuk
angkatan perang yang kuat di bawah panglima, sehingga kholifah tidak turun
langsung dalam menangani tentara. Kholifah juga membentuk Baitul Mal/
Departemen Keuangan untuk mengatur keuangan negara khususnya. Di samping itu
juga kholifah membentuk badan peradilan, guna membantu kholifah dalam urusan
hukum.[14]
c.
Bangunan Tempat Pendidikan dan Peribadatan
Di
antara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan adalah
madrasah. Madrasah yang terkenal saat itu adalah Madrasah Nizamiyah, yang
didirikan di Baghdad, Isfahan, Nisabur, Basrah, Tabaristan, Hara dan Musol oleh
Nizam al-Mulk seorang perdana menteri pada tahun 456 – 486 H. selain madrasah,
terdapat juga Kuttab, sebagai lembaga pendidikan dasar dan menengah, Majlis
Muhadhoroh sebagai tempat pertemuan dan diskusi para ilmuan, serta Darul Hikmah
sebagai perpustakaan.
Di
samping itu, terdapat juga bangunan berupa tempat-tempat peribadatan, seperti
masjid. Masjid saat itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah
sholat, tetapi juga sebagai tempat pendidikan tingkat tinggi dan takhassus. Di
antara masjid-masjid tersebut adalah masjid Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan
lain sebagainya.[15]
d.
Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu
naqli dan ilmu ‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu
Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa. Adapaun ilmu ‘aqli seperti :
Ilmu Kedokteran, Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti, Logika, Filsafat
dan Geografi.[16]
4)
Kemunduran Daulah Bani Abbasiyah
Kehancuran Dinasti Abbasiyah ini tidak erjadi dengan cara
spontanitas, melainkan melalui proses yang panjang yang diawali oleh berbagai
pemeberontakan dari kelompok yang tidak senang terhadap kepemimpinan kholifah
Abbasiyah. Disamping itu juga, kelemahan kedudukan kekholifahan dinasti
Abbasiyah di Baghdad, disebabkan oleh luasnya wilayah kekuasaan yang kurang
terkendali, sehingga menimbulkan disintegrasi wilayah.
Di antara kelemahan yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah
adalah sebagai berikut :
a)
Mayoritas Kholifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan
urusan pribadinya dan cenderung hidup mewah.
b)
Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah, sementara komunikasi pusat
dengan daerah sulit dilakukan.
c)
Ketergantungan kepada tentara bayaran.
d)
Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki dan Persia, yang
menimbulkan kecemburuan bagi bangsa Arab murni.
e)
Permusuhan antara kelompok suku dan agama.
f)
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak
korban.
g)
Penyerbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Panglima Hulagu Khan
yang menghacur leburkan kota Baghdad.
D A F T A R P U S T A K A
A. Syalabi, Prof. Dr, Sejarah dan
Kebudayaan Islam Jilid 3, Al-Husna Zikra, Jakarta, 2000
Murodi, Drs, Sejarah Kebudayaan
Islam MA, Karya Toha Putra, Semarang, 2003
Chatibul Umam, Prof, Dr. Abidin
Nawawi, Drs, Sejarah Kebudayaan Islam MTs, Menara Kudus, Semarang, 1995
____________, Sejarah Kebudayaan
Islam MTs, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, 1999
[2] Ibid, Hal 17
[3] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam MA,
Karya Toha Putra, Hal 41
[4] Ibid, hal 43
[5] Ibid, hal 44
[6] Chatibul Umam, Abidin Nawawi, Sejarah Kebudayaan Islam MTs,
Karya Toha Putra, Hal 39
[7] Ibid, hal 44
[8] Syalabi, Prof, Dr, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Alhusna
Zikra, Hal 34
[9] Chatibul Umam, Abidin Nawawi, Sejarah Kebudayaan Islam MTs,
Karya Toha Putra, Hal 57
[10] Murodi, Drs, MA, Sejarah Kebudayaan Islam MA,
Karya Toha Putra, Hal 51
[11] Murodi, Drs, MA, Sejarah Kebudayaan Islam MA,
Karya Toha Putra, Hal 58
[12] Syalabi, Prof, Dr, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Alhusna
Zikra, Hal 186
[13] Murodi, Drs, MA, Sejarah Kebudayaan Islam MA,
Karya Toha Putra, Hal 58
[14] Chatibul Umam, Abidin Nawawi, Sejarah Kebudayaan Islam MTs,
Karya Toha Putra, Hal 82
[15] Murodi, Drs, MA, Sejarah Kebudayaan Islam MA,
Karya Toha Putra, Hal 59
[16] Chatibul Umam, Abidin Nawawi, Sejarah Kebudayaan Islam MTs,
Karya Toha Putra, Hal 96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar