Musyarakah (Syirkah)
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua belah pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan dan porsi kontribusi dana[1].
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il
mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata
dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat[2].
Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi,
menurut Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih fasih (afshah), syirkah berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi
dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya[3].
Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau
lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan[4].
Landasan hukum syirkah terdapat dalam Al Quran surat 38 ayat 34
yang artinya adalah “ Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu
sebagian dari mereka itu berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini.”
Dan dalam sabda Rasulullah yang artinya “ Aku ini ketiga dari dua orang yang
berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati temannya. Apabila
salah seorang telah berkhianat terhadap temannya, aku keluar dari antara
mereka.”
Menurut pasal 1618 KUHPer, Perseroan (maatschap) adalah suatu
persetujuan dengan nama dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan
sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi
karenanya.
Sesuatu itu dapat berupa barang-barang atau uang atau menyediakan
kekuatan kerja/kerajinannya (tenaga kerja), hal ini dapat dilihat pada pasal
1619 KUHper. Maatschap berbeda dengan bentuk perusahaan lainnya karena sifatnya
yang tidak nyata keluar dan tidak terlihat oleh umum.
Dalam hukum islam persekutuan dinamakan dengan nama syirkah yang
berarti ikhtilath (percampuran), yakni bercampurnya satu harta dengan harta
yang lain, sehingga tidak bisa dibedakan antara keduannya. Adapun secara
terminology, pada dasarnya definisi yang diberikan oleh para ulama’ fiqih berbeda
secara redaksional sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya sama, yaitu
ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan.k
Sementara dalam terminologi
ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau
beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul
Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud
(Syirkah Transaksional).
1.
MACAM-MACAM SYIRKAH
Menurut Hanafiyah, secara garis besar syirkah dibagi dua bagian,
yaitu syirkah milik dan syirkah ‘uqud. Syirkah milk juga dibagi dua macam:
syirkah milk jabar dan syirkah milk ikhtiyar. Syirkah ‘uqud dibagi menjadi tiga
macam: syirkah ‘uqud al-amal, syirkah ‘uqlud bi al-abdan, dan syirkah ‘uqud bi
al-wujud. Syirkah ‘uqud bi al-amal dibagi menjadi dua macam:syirkah-syirkah
‘uqud bi al-amal mufawadhah dan syirkah ‘uqud bi al-mal inan. Syirkah ‘uqud bi
al-abdan dibagi dua: syirkah ‘uqud bi al-abdan mufawadhah dan syirkah ‘uqud bi
al-abdan inan. Syirkah ‘uqud bi al-wujud dibagi menjadi dua bagian: syirkah
‘uqud bi al-wujud mufawadhah dan syrikah ‘uqud bi al-wujud inan.
Syirkah ada dua macam:
a.
Syirkah Hak Milik (Syirkatul Amlak)
Yaitu
per-sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan
salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan
b.
Syirkah Transaksional (Syirkatul uqud)
Menurut
An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
·
syirkah inân
·
syirkah abdan
·
syirkah mudhârabah
·
syirkah wujûh
·
syirkah mufâwadhah .
An-Nabhani
berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam,
sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan
ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.[5]
A)
Syirkah ‘Inan adalah
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini
hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990:
148). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat
menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah.
Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya
sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
B)
Syirkah Abdan
Syirkah
‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl).
Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek
atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu,
sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini
disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35).
C)
Syirkah Wujuh
Syirkah
wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî
asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada
kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat.
Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama
memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang
memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh
masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah
sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani,
1990: 154).
D)
Syirkah Mudharabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi
kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl)
(An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan
ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836).
Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya
sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal
(‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong)
E)
Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas
(syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156;
Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut
An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri
sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya
(An-Nabhani, 1990: 156).
2.
HUKUM SYIRKAH
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw
berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus
sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara
ber-syirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda, sebagaimana
dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari
dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang
lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aba Manhal pernah mengatakan , “Aku
dan rekan kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan hutang.” Lalu
kami didatangi oleh Al Barra’bin azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Dia
menjawab, “ Aku dan rekan kongsiku, Zaiq bin Arqam, telah mengadakan
perkongsian. Kemudian kami bertanya kepada Nabi Saw. tentang tindakan kami.
Baginda menjawab: “barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silalah kalian
ambil. Sedangkan yang (diperoleh) secara hutang, silalah kalian bayar”.
Hukum melakukan syirkah dengan kafir zimmi juga adalah mubah. Imam
Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan: “Rasulullah
saw pernah mempekerjakan penduduk khaibar (penduduk Yahudi) dengan mendapat
bagian dari hasil tuaian buah dan tanaman”.
·
Syirkah Inan
Syirkah
semacam ini dibolehkan berdasarkan ijma”. Kalau-pun ada perbedaan, hanya dalam
beberapa bentuk rincian dan satuannya. Yang telah kami paparkan tentang
disyariatkannya bentuk syirkah secara umum merupakan dalil disyariatknya
Syir-katul “Inan ini secara khusus, karena ia termasuk dari jenis kerja sama
yang disyariatkan
·
yirkah Abdan
Seperti
kesepakatan para pemilik usaha dan kerajinan untuk menerima pekerjaan dan
berserikat dalam hasilnya. Di antara contohnya misalnya kesepakatan beberapa
orang tenaga medis untuk mendirikan poliklinik dan menerima perawatan
orang-orang sakit. Masing-masing bekerja sesuai dengan spesialisasinya.
Kemudian akhirnya mereka membagi keuntungan bersama. Atau kesepakatan
sekelompok mekanik untuk mengerjakan satu pro-yek perbaikan mobil,
masing-masing bekerja sesuai dengan ketrampilannya, baru kemudian mereka
membagi keuntungan bersama.
·
Syirkah Wujuh
Para
ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya atau tidaknya kerja sama ini.
Kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah membolehkannya secara mutlak. Kalangan
Syafi”iyah dan Mali-kiyah melarang sebagian bentuk aplikatifnya, namun
membo-lehkan sebagian bentuk lainnya.
Mereka
membolehkan kalau kedua pihak tersebut berse-pakat membeli satu komoditi yang
sama. Mereka melarang apabila masing-masing berhak terhadap apa yang dibeli
oleh mitra bisnis kerja sama mereka dengan nama baiknya sendiri secara mutlak.
·
Syirkah Mufawadhah
Para
ulama kembali berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini: Kalangan Hanafiyah,
Malikiyah dan Hamba-liyah membolehkannya. Sedangkan Imam Syafi’i 5
mela-rangnya.
Alasan
pendapat mayoritas ulama adalah sebagai berikut:
a. Karena syirkah ini
menggabungkan beberapa macam bentuk syirkah yang masing-masing dari syirkah itu
dibolehkan secara terpisah, maka demikian pula hukumnya bila dikombi-nasikan.
b. Karena masyarakat di
berbagai tempat dan masa telah terbiasa melakukan bentuk syirkah semacam ini
tanpa ada pula ulama yang menyalahkannya
Sementara alasan Imam Syafi’i melarangnya adalah sebagai berikut:
Karena syirkah ini sebentuk perjanjian usaha yang me-ngandung penjaminan
terhadap jenis hal yang tidak diketahui, dan juga jaminan terhadap sesuatu yang
tidak diketahui. Keduanya sama-sama rusak secara terpisah, apalagi bila
digabungkan.
Dalil yang dikemukakan Imam Syafi”i ini dibantah bahwa hal yang
tidak diketahui itu dimaafkan karena timbul sebagai konsekuensi. Sebuah
aktivitas terkadang sah bila merupakan konsekuensi, tetapi tidak sah bila
merupakan tujuan, seperti hal-nya syirkah “inan dan penanam modal.
Masing-masing syirkah itu juga mengandung unsur penjaminan terhadap dalam
pembelian sesuatu yang tidak diketahui, namun keduanya dibolehkan ber-dasarkan
kesepakatan para ulama.
3.
RUKUN DAN SYARAT SYIRKAH
Rukun
syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiah bahwa rukun ada
dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab Kabul (akad) yang menentukan adanya
syirkah. Adapun yang lain seperti dua orang atu pihak yang berakad dan harta
berada di luar pembahasan akad seperti terdahulu dalam akad jual beli.
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiah dibagi menjadi empat bagian
berikut ini.
I. Sesuatu yang
bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan yang
lain. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu a) yang berkenaan dengan benda
yang di akadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b)yang
berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat
diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepetiga dan lainnya.
II. Sesuatu yang
bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat dua perkara yang
harus dipenuhiyaitu:
a) bahwa modal
yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti
junaih, riyah, dan Rupiah,
b) yang
dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya
sama maupun berbeda.
III. Sesuatu yang
bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan
a) modal (pokok
harta) dalam isyirkah mufawadhah harus sama,
b) bagi yang
bersyirkah ahli untuk kafalah,
c) bagi yang
dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli
atau perdagangan.
IV. Adapun syarat
yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah
mufawadhah.
Pandangan Mazhab Fiqih tentang Syirkah Mazhab Hanafi berpandangan
ada empat jenis syirkah yang syari’e iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah dan
wujuh. ( Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu) Mazhab Maliki
hanya 3 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan dan mudharabah.
Menurut Mazhab Syafi’e, zahiriah dan Imamiah hanya 2 syirkah yang sah iaitu
inan dan mudharabah. Mazhab Hanafi dan zaidiah berpandangan ada 5 jenis syirkah
yang sah iaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadha.
Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman al-jaziri bahawa rukun syirkah
adalah dua orang (pihak) yang saling beserikat, shighat dan objek akad syirkah
baik harta maupun kerja. Syarat-syart syirkah oleh Idris Ahmad sebagai berikut:
1. Mengeluarkan kata-kata yang menunjuakn
izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta
itu.
2. Anggota serikat itu saling mempercayai,
sebab masing-masing mereka adalah awkail yang lainnya.
3. Mencampurkan harta sehingga tidak
dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiah dibagi menjadi empat
Rukun
syirkah adalah sebagai berikut:
a) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
b) dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya
harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta
c) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd
‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996:
69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
1. Syirkah Inan
Dalam
syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang
(‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah,
kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Untuk modal itu harus dalam bentuk riil, tidak merupakan hutang pada orang yang
sedang kesulitan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan riba. Dan dalam
pembagian kentungan disyaratkan seimbang atau boleh lebih besar disesuaikan
dengan besar kecilnya modal yang ditaman oleh pihak yang melakukan syirkah.
1. Syirkah Abdan
Dalam
syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh
berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang
kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat
berburu babi hutan (celeng).
1. Syirkah Wujuh
Syirkah
wujuh adalah kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan
di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh,
katakanlah seorang menteri atau pedagang besar, yang dikenal tidak jujur atau
suka memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, syirkah wujuh sah jika
dilakukan oleh seorang yang biasa-biasa saja, tetapi para pedagang
memercayainya, misalnya karena ia dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan
keuangan
1. Syirkah Mufawadhah
Kalangan
Hambaliyah menetapkan syarat sahnya syirkah ini bahwa tidak boleh dimasukkan ke
dalamnya berbagai hasil sam-pingan dan denda-denda. Kalau keduanya dimasukkan
dalam perjanjian, syirkah itu batal, karena ada unsur manipulasi.
Sementara
kalangan Hanafiyah memberikan syarat bagi sahnya syirkah ini sebagai berikut.
Kesamaan modal, aktivitas adna keuntungan.
1. Kesamaan modal, aktivitas dan
keuntungan.
2. Keumuman dalam syirkah Yakni
diberlakukan dalam semua jenis jual beli
3. Agar salah satu pihak yang terlibat
tidak memiliki saham dalam syirkah lain, dan tidak juga ikut dalam perjanjian
syirkah lain, karena hal itu menyebabkan ketidaksamaan
4. Hendaknya dengan pelafalan mufawadhah.
Karena mufa-wadhah mengandung banyak persyaratan yang hanya bisa diga-bungkan
dalam pelafalan itu, atau dengan cara pengungkapan lain yang bisa mewakilinya.
Namun jarang sekali masyarakat awam yang memahami hal itu
Demikianlah. Berkurangnya salah satu dari persyaratan ini
menyebabkan syirkah ini berubah menjadi syirkah “inan menurut kalangan
Hanafiyah. Karena syirkah ini memang sudah mengan-dung unsur syirkah “inan
bahkan lebih dari itu. Batalnya syirkah mufawadhah, tidak berarti syirkah itu batal
sebagai syirkah “inan, karena syirkah “inan tidak memerlukan syarat-syarat
tersebut.
Satu
hal yang perlu diingat, bahwa kalangan Malikiyah dan Hambaliyah tidak
menganggap kesamaan dalam modal dan keuntungan sebagai syarat syirkah ini.
Mereka membolehkan adanya perbedaan dalam kedua hal itu, sebagaimana halnya
Syir-katul “Inan.
1. CARA MEMBAGI KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Dari macam-macam serikat tersebut, sebetulnya masih diperselisihkan
oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang sah dilakukan
hanyalah syirkah al-inan, sementara syirkah selain itu batal untuk dipalukan.
Cara
membagi keuntungan dan kerugian tergantung besar dan kecilnya modal yang mereka
1)
Syirkah ‘inan
Sehubungan
dengan keuntungan itu disyaratkan sebagai berikut:
·
Harus diketahui jumlahnya. Kalau jumlahnya tidak dike-tahui,
syirkah tersebut dianggap rusak, kecuali kalau terdapat kebiasaan setempat yang
sudah merata yang membolehkan pem-bagian keuntungan dengan cara tertentu, hal
itu boleh dilakukan.
·
Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan prosen-tasi tertentu.
Kalau berupa nilai uang tertentu saja, maka syirkah itu tidak sah. Karena ada
kemungkinan bahwa aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu
saja, sehingga tidak bisa dibuktikan syirkah dalam keuntungannya.
·
Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama mitra usaha.
Tidak disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai dengan jumlah modal. Karena
keuntungan selain juga ditentukan oleh modal, juga ditentukan oleh usaha.
Terkadang salah seorang di antara mereka memiliki keahlian yang lebih dari yang
lain, se-hingga tidak rela bila disamaratakan keuntungan mereka. Itu adalah
pen-dapat yang dipilih oleh Hanafiyah dan Hambaliyah
2)
Syirkah Abdan
Keuntungan dalam syirkah ini adalah berdasarkan kesepa-katan semua
pihak yang beraliansi, dengan cara disamaratakan atau ada pihak yang
dilebihkan. Karena usahalah yang berhak mendapatkan keuntungan. Sementara
perbedaan usaha dalam syirkah ini dibolehkan. Maka juga dibolehkan juga adanya
per-bedaan jumlah keuntungan.
Berdasarkan hal ini, kalau mereka pempersyaratkan usaha dibagi dua
(1-1) dan keuntungannya 1-2, boleh-boleh saja. Karena modal itu adalah usaha
dan keuntungan adalah modal. Usaha bisa dihargai dengan penilaian kualias,
sehingga bisa diperkirakan harganya dengan prediksi kualitasnya, dan itu tidak
diharamkan
3)
Syirkah Wujuh
Pembagian
keuntungannya sama dengan syirkah lainnya.
4)
Syirkah Wafadhah
Para
ulama Ahli Fiqih telah bersepakat bahwa kerugian dalam Syirkah Mufawadhah dan
dalam seluruh jenis syirkah lainnya harus diukur dengan jumlah modal. Artinya,
kerugian itu dibagi-bagikan untuk ditanggung bersama sesuai dengan prosentasi
modal yang tergabung dalam syirkah.
·
Kalangan Hambaliyah membolehkan keuntungan itu dibagikan sesuai
dengan persyaratan. Mereka tidak membedakan antara syirkah komprehensif dengan
yang lainnya.
·
Kalangan Malikiyah mempersyaratkan agar keuntungan disesuaikan
dengan jumlah modal.
·
Sementara kalangan Hanafiyah mengharuskan keuntungan dalam
Syirkatul Mufawadhah untuk disamaratakan, berdasarkan alasan yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa modal, keun-tungan dan yang lainnya adalah
rambu-rambu paling mendasar, dalam syirkah ini dan juga dalam syirkah-syirkah
lain, menurut mereka.
Telah
pula dijelaskan sebelumnya bahwa pendapat yang terpilih adalah bahwa keuntungan
itu bisa saja berdasarkan persyaratan. Karena usaha itu adalah salah satu sebab
memper-oleh keuntungan. Ukurannya bisa berbeda-beda, sehingga harus diukur
4.
MENGAKHIRI SYIRKAH/HAL-HAL YANG MEMBATALKAN
Syirkah
akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
·
Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuanpihak
yang lain sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari
kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah
satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukan pencabutan kerelaan
syirkah oleh salah satu pihak.
·
Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf (kehilangan
mengelola harta), baik karena gila maupun alasan lainnya.
·
Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi anggota syirkah lebih dari
dua orang, yang batal hanyalah anggota yang meninggal saja. Syirkah berjalan
terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang
meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan
perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
·
Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampunan, baik karena boros
yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang
lainnya.
·
Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibattidak berkuasa lagi
atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab
Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu
tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
·
Modal para anggota lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat
dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri.
Apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa
dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila
harta lenyap apabila terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi,
menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi setelah dibelanjakan, menjadi
resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung
dengan kekayaan yang masih ada.
Jika
di uraikan berdasarakan macam-macam syirkah maka hal-hal yang mengakhiri atau
membatalakan syirkah adalah sebagai berikut:
Asal
daripada syirkah ini adalah bentuk kerja
sama usaha yang dibolehkan (bukan lazim). Masing-masing daripada pihak yang
bersekutu boleh membatalkan perjanjian kapan saja dia kehendaki. Namun kalangan
Malikiyah berbeda pendapat dalam hal itu. Mereka menyatakan bahwa kerja sama
itu terlaksana dengan semata-mata adanya perjanjian. Kalau salah seorang ingin
memberhentikan kerja sama tersebut, tidak begitu saja dapat dipenuhi. Dan bila
ia ingin mengambil kembali hartanya maka hal itu harus diputuskan oleh hakim.
Kalau hakim melihat sudah selayaknya dijual sahamnya, segera dijual. Bila
tidak, maka ditunggu saat yang tepat untuk menjualnya.
Pendapat
yang benar menurut kami adalah syirkah itu terlaksana dengan berjalannya usaha,
dan itu terus berlangsung hingga modalnya selesai diputar. Yakni setelah modal
tersebut diputar dan kembali menjadi uang kontan. Agar dapat mencegah bahaya
terhadap pihak lain atas terjadinya keputusan mendadak setelah usaha baru
dimulai.
Dan
satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa dasar dari syirkah ini menurut para
ulama fiqih adalah penjaminan dan amanah. Masing-masing dari pihak yang
beraliansi menjadi pen-jamin atau wakil, sekaligus yang mewakilkan kepada yang
lain. Ia dapat beroperasi dalam apa yang menjadi haknya menurut hukum asal, dan
juga dalam apa yang menjadi hak pihak lain dengan status sebagai wakil.
Sementara sudah dimaklumi bahwa wikalah atau penjaminan adalah perjanjian yang
juga dibolehkan ber-dasarkan kesepakatan ulama. Oleh sebab itu, seseorang tidak
boleh memaksa pihak lain untuk menuruti apa yang menjadi kei-nginannya di bawah
intimidasi. Demikian juga hukum asal dari sistem syirkah ini, karena syirkah
ini juga harus menggunakan penjaminan agar bisa berjalan, dan juga membutuhkan
spon-sorship agar bisa bertahan. Wikalah atau penjaminan menjadi syarat dalam
sistem perniagaan ini, untuk memulainya dan agar tetap bertahan. Kalau
penjaminan itu terputus dengan pemba-talan dari salah satu pihak, maka hak-hak
kepemilikan bagi masing-masing pihak untuk mengoperasikan modal pihak lain juga
hilang.
Inilah
hukum asalnya. Dan itulah yang menjadi konsekuensi dari berbagai kaidah umum
yang kalangan Malikiyah sendiri juga tidak membantahnya, sehingga pendapat
mereka yang menya-takan bahwa syirkah itu berlangsung hanya dengan sekedar
adanya transaksi saja menjadi perlu dicermati dan dipertanyakan.
Hanya
saja terkadang kita mendapatkan di hadapan kita berbagai pelajaran praktis yang
mendorong kita untuk kembali meneliti persoalan ini, dan memberikan
pertimbangan dan sudut pandang terhadap pendapat Malikiyah. Dimisalkan syirkah
itu telah dimulai. Masing-masing anggotanya telah mulai mempersiap-kan dan
mengatur segala sesuatunya. Modal telah mulai dilun-curkan untuk membeli
berbagai bahan dan kebutuhan dagang. Dan pada umumnya, untuk memulai usaha itu
membutuhkan kerja keras, banyak tanggungan dan biaya yang besar sekali.
Tiba-tiba salah seorang pihak yang bekerja sama secara mengejutkan menganggap
bahwa pasangannya itu dengan menghanguskan modal dalam sekejap dan menuntut
untuk berhenti dalam usaha tersebut dan meminta ganti rugi serta menerima
kembali mo-dalnya dan mengundurkan diri dari syirkah. Dan perbuatannya itu bagi
pasangannya bisnisnya adalah tindakan yang melumpuhkan bahkan menghancurkannya.
Syirkah
usaha ini berakhir dengan berakhirnya kerjasama dengan berdasarkan kriterianya
secara umum, misalnya dengan pembatalan oleh salah satu transaktor, atau
kematian salah satu dari pihak yang bekerja sama, atau karena gila, karena
sudah ter-cekal akibat bangkrut terlilit hutang, karena idiot dan sejenisnya.
Dengan
kenyataan itu, maka tidaklah logis apa yang dinyatakan oleh kalangan Malikiyah
untuk diterapkan di sini yaitu bahwa dalam usaha dengan sistem penanaman modal,
ben-tuk usaha ini berlangsung dengan mulainya usaha. Karena syirkah usaha ini
berkaitan erat dengan pribadi para pelaku, sehingga tanpa kehadirannya, tidak
bisa dibayangkan bagaimana kerja sama ini bisa berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nabhani,
Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV.
Beirut: Darul Ummah.
Antonio,
M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta:
Bank Indonesia & Tazkia Institute.
Al-Jaziri,
Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan
I. Beirut: Darul Fikr.
Al-Khayyath,
Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn
al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm.
Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.
Az-Zuhaili,
Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III.
Damaskus: Darul Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar